Tantangan dan Pandangan Gereja terhadap Pemilih Pemula dalam Pilkada Serentak 2024
Penulis: Yustinus Dwi Andriyanto
(Dosen STIPAS Tahasak Danum Pambelum Keuskupan Palangka Raya)
Pemilih pemula memiliki peran strategis dalam Pilkada Serentak 2024. Mereka adalah generasi muda yang baru pertama kali menggunakan hak pilihnya, dan jumlah mereka yang signifikan menjadikan suara mereka sebagai penentu arah pembangunan daerah di masa depan. Namun, di tengah potensi besar ini, ada tantangan yang tidak bisa diabaikan, yaitu kecenderungan apatisme, pengaruh kuat media sosial, dan kurangnya minat untuk menganalisis visi-misi calon kepala daerah.
Persoalan Pemilih Pemula
Apatisme dikalangan pemilih pemula sering kali disebabkan oleh minimnya pemahaman tentang pentingnya partisipasi politik. Banyak dari mereka yang merasa bahwa politik adalah ranah yang jauh dari kehidupan sehari-hari atau sudah tercemar oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Selain itu, arus informasi yang cepat dan tidak terfilter di media sosial membuat mereka rentan terhadap hoaks, politik identitas, atau kampanye manipulatif. Akibatnya, keputusan memilih sering kali didasarkan pada popularitas calon, bukan pada visi-misi yang ditawarkan.
Ketidakpedulian untuk menganalisis visi dan misi calon kepala daerah dapat berdampak buruk. Pemimpin yang terpilih mungkin tidak memiliki keberpihakan pada nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan bersama yang diajarkan oleh Gereja. Hal ini dapat menghambat upaya menciptakan tatanan masyarakat yang sejalan dengan prinsip-prinsip moral Kristiani. Ketidakpedulian dalam menganalisis visi dan misi calon kepala daerah adalah persoalan serius yang berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang bagi masyarakat, terutama jika pemimpin yang terpilih tidak memiliki komitmen terhadap nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan bersama. Dari sudut pandang Gereja Katolik, pemilihan pemimpin bukan hanya soal administratif atau formalitas politik, tetapi merupakan bagian integral dari tanggung jawab moral dan sosial umat beriman.
Ketidakpedulian dalam memilih calon yang berkomitmen pada keadilan dapat menghasilkan kepemimpinan yang hanya memperkuat ketimpangan sosial, korupsi, atau bahkan penindasan terhadap kelompok tertentu. Misalnya, seorang pemimpin yang tidak menjunjung kebenaran cenderung mengambil keputusan berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok, bukan demi kebaikan bersama. Dampaknya bisa berupa kebijakan publik yang tidak manusiawi atau diskriminatif, yang bertentangan dengan nilai Kristiani.
Pemimpin yang tidak memiliki visi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat cenderung gagal menghadirkan solusi atas permasalahan mendasar, seperti kemiskinan, pendidikan, atau layanan kesehatan. Padahal, Yesus sendiri mengajarkan untuk mengutamakan mereka yang miskin dan tersisih (Luk. 4:18). Gereja memandang bahwa pemimpin daerah harus mampu menjadi pelayan yang peduli pada kebutuhan warganya, bukan sekadar pemegang kekuasaan.
Ketidakpedulian untuk menganalisis visi dan misi calon juga mencerminkan kurangnya pemahaman akan panggilan Gereja untuk terlibat dalam transformasi sosial. Gereja, melalui dokumen Christifideles Laici, mengingatkan bahwa umat beriman awam dipanggil untuk menguduskan dunia, termasuk dalam bidang politik. Membiarkan kepemimpinan jatuh ke tangan mereka yang tidak berkomitmen pada nilai-nilai Kristiani berarti mengabaikan panggilan tersebut.
Pandangan Gereja tentang Peran Pemilih
Gereja Katolik menekankan pentingnya partisipasi aktif dalam kehidupan politik sebagai bentuk nyata dari tanggung jawab sosial. Dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja, disebutkan bahwa setiap orang Kristen dipanggil untuk terlibat dalam pembangunan masyarakat yang adil dan bermartabat (Kompendium ASG, 565). Hak pilih adalah salah satu cara konkret umat beriman untuk mewujudkan panggilan ini.
Paus Fransiskus dalam ensiklik Fratelli Tutti juga menegaskan perlunya membangun persaudaraan universal dan mengupayakan kepemimpinan yang mengutamakan kesejahteraan umum, bukan kepentingan kelompok tertentu (FT, 154). Oleh karena itu, pemilih pemula harus memilih pemimpin yang memiliki komitmen terhadap keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan bersama.
Dalam tradisi sosial Gereja, keadilan dan kebenaran adalah dua pilar utama dalam membangun masyarakat yang bermartabat. Gereja mengajarkan bahwa pemimpin memiliki peran profetis untuk memastikan bahwa setiap individu, terutama mereka yang lemah dan terpinggirkan, diperlakukan secara adil. Dalam dokumen Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan), Gereja menekankan bahwa "struktur sosial dan politik harus dirancang untuk melayani martabat manusia dan kesejahteraan semua orang" (GS, 26).
Gereja memahami politik sebagai sarana untuk mencapai bonum commune atau kesejahteraan bersama. Dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja (565), dijelaskan bahwa politik adalah bentuk cinta kasih yang diwujudkan dalam kehidupan publik. Oleh karena itu, memilih pemimpin yang tidak memperjuangkan kesejahteraan bersama adalah bentuk pengabaian tanggung jawab sebagai umat beriman.
Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium menegaskan bahwa Gereja harus menjadi "rumah semua orang," dan ini hanya dapat terwujud jika masyarakat dipimpin oleh individu yang berorientasi pada pelayanan, keadilan, dan dialog. Tanpa pemimpin seperti itu, masyarakat berisiko kehilangan arah moral dan spiritual.
Tugas Pemilih Pemula Pada Pemilu Serentak 2024
Sebagai bagian dari tanggung jawab moral dan sosial, pemilih pemula diharapkan:
1. Meningkatkan Literasi Politik
Pemilih pemula perlu dibekali pengetahuan tentang sistem politik, tugas kepala daerah, dan dampak kebijakan yang diambil. Pendidikan ini bisa dilakukan melalui komunitas, sekolah, atau Gereja.
2. Kritis terhadap Informasi
Gereja mengajak umat untuk tidak mudah percaya pada berita atau informasi yang tidak jelas sumbernya. Prinsip discernment atau penilaian rohani sangat penting agar keputusan diambil berdasarkan kebenaran dan hikmat.
3. Memilih Berdasarkan Nilai-Nilai Kristiani
Pemilih pemula perlu memilih calon yang mempromosikan keadilan sosial, menghormati martabat manusia, dan mengupayakan kesejahteraan bersama. Gereja mengajarkan bahwa politik adalah sarana pelayanan kepada masyarakat, bukan sekadar perebutan kekuasaan (ASG, 565).
Pemilih pemula memegang peran kunci dalam menentukan arah pembangunan daerah melalui Pilkada Serentak 2024. Gereja mengingatkan bahwa memilih adalah tindakan moral yang harus dilakukan dengan tanggung jawab dan kesadaran penuh akan dampaknya terhadap masyarakat luas. Dengan memahami nilai-nilai Kristiani dan mengaplikasikannya dalam proses pemilihan, pemilih pemula dapat menjadi agen perubahan yang mendukung terciptanya tatanan masyarakat yang adil, benar, dan sejahtera.