Sebelum lebih jauh membahas kebijakan
Pemerintah dalam penanganan COVID-19, kita terlebih dahulu mendiskripsikan apa
itu kebijakan dan tujuan dibuatkannya kebijakan tersebut. Kebijakan dapat diartikan
sebagai konsep dan juga strategi yang diwujudkan dalam tindakan-tindakan dengan
tujuan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dan menciptakan kesejahteraan,
sedangkan tujuannya adalah untuk menciptakan suatu jaminan kepentingan
masyarakat umum. Sudah jelas pengertian dan tujuan dibuatkannya kebijakan
secara umum adalah untuk meredam polemik yang terjadi ditengah masyarakat, dan
tentunya berorientasi pada kebermanfaatan masyarakat yang dalam hal ini sebagai
sasaran dalam implementasi kebijakan tersebut.
Lalu bagaimana wajah kebijakan
pemerintah sampai pada hari ini, khususnya dalam hal penanganan COVID-19, dapat
kita lihat dan tela’ah dari rekam jejak mencuatnya kasus positif COVID-19
pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020, yang mana setelah itu terjadinya
ledakan kasus COVID-19 di Indonesia, dan pemerintah pun mulai alih pusat
perhatian pada penanggulangan COVID-19, sehingga pada bulan april Presiden
Jokowi melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 menetapkan
bencana non-alam COVID-19 sebagai bencana nasional. Dari tren kasus positif
yang melonjak signifikan, maka pemerintah pun merespon dengan mengeluarkan
kebijakan mengenai karantina wilayah yang berpedoman pada UU Nomor 6 tahun 2018
tentang kekarantinaan wilayah, ini tentunya untuk menghindari akses mobilisasi
aktivitas masyarakat dalam perjalanan antar wilayah dalam memutus mata rantai
penyebaran COVID-19.
Kebijakan ini tentu berkoordinasi
dengan pemerintahan daerah provinsi untuk selanjutnya di akomodir oleh gubernur
sebagai kepala daerah untuk mengambil keputusan terkait kebijakan karantina wilayah,
tetapi istilah ini yang menjadi polemik di Kalimantan Tengah dimana pernyataan
Gubernur Kalimantan Tengah mengatakan untuk melakukan lockdown bandara melalui
pesan videonya pada tanggal 29 maret 2020, tujuan kebijakan lockdown ini memang
memiliki kesamaan dengan istilah karantina wilayah dalam hal ini mobilitas
aktivitas masyarakat dalam perjalanan antar wilayah, yang tentunya menimbulkan
pertanyaan besar dikhalayak masyarakat terkait dasar pernyataan yang
disampaikan Gubernur Kalimantan Tengah ini, karena istilah yang memang
digunakan dalam setiap provinsi yaitu karantina wilayah yang jelas diamanatkan
pada UU Nomor 6 tahun 2018 sebagai dasar hukum yang kuat dalam menyusun kebijakan.
Sehingga timbul pertanyaan yang menjadi poin kritisi, apakah melalui pesan
video tersebut mampu mengakamodir mobilitas aktivitas masyarakat dalam
perjalanan antar wilayah? Menurut penulis disini tidak akan efektif, karena
kebijakan tersebut akan bersifat fleksibel dalam penerapannya, sudah barang
tentu karena tidak memiliki dasar yang kuat dan juga pasti menimbulkan
kebingungan bagi masyarakat karena istilah lockdown ini tidak ada dalam
regulasi pemerintah yang mengatur istilah semacam itu. Dan berbicara soal
lockdown memiliki pengertian meniadakan rutinitas secara total diluar ruangan,
artinya aktivitas ekonomi akan lumpuh dan segala keperluan masyarakat tidak
mungkin bisa diakomodir oleh pemerintah, dari kasus kebijakan ini bisa
dikatakan keliru dalam koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
artinya kebijakan seperti yang sudah dijelaskan diawal untuk meredam polemik
yang terjadi ditengah masyarakat, malah memunculkan masalah baru dan dapat
dikatakan kebijakan yang kontradiksi dalam implementasi kebijakan tersebut.
Kebijakan pemerintah kembali dibuat
melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam rangka
percepatan penanganan coronavirus disease (Covid-19) pada tanggal 31 Maret
2020. Lalu Menteri
Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto juga turut menerbitkan Peraturan
Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 9 Tahun 2020, yang mengatur sekaligus merincikan
PP Nomor 21 Tahun 2020. PMK tersebut juga telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 3 April 2020. Jadi yang menjadi
pusat perhatian kali ini bagaimana penerapan kebijakan ini di kota Palangka
Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Yang dilansir dari antaranews.com Pemerintah
Kota menyiapkan anggaran senilai Rp. 86 miliar yang digunakan untuk menjalankan
kebijakan PSSB ini, walaupun dari alokasi anggaran ini masyarakat secara luas
di Palangka Raya juga masih bertanya-bertanya untuk anggaran sekian banyak
untuk menjalankan PSBB 14 hari digunakan alokasi kemana, dan lagi-lagi
implementasi dari kebijakan ini belum dirasa konkrit dalam memutus mata rantai
penyebaran COVID-19, dan anggaran sekian banyakpun habis tanpa meninggalkan
jejak yang jelas untuk selanjutnya dapat diterima oleh masyarakat.
Pada akhir bulan juni 2021 bulan lalu pemerintah juga
menyusun kebijakan terbaru yaitu Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
(PPKM Darurat) melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri untuk diberlakukan
seragam di seluruh provinsi, lalu merespon hal tersebut berdasarkan Surat
Edaran Gubernur Nomor 443.1/107/Satgas Covid-19 tentang Peningkatan Upaya
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Percepatan Pelaksanaan
Vaksinasi COVID-19 di Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah, lalu bagaimana
relevansi kebijakan PPKM ini dijalankan di Kota Palangka Raya, dengan keluarnya
surat edaran Gubernur sebagai dasar pelaksaan kebijakan maka Pemerintah Kota
Palangka Raya juga mengeluarkan surat edaran Walikota Nomor
368/01/SATGASCOVID-19/BPBD/VII/2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan
Masyarakat Berbasis Mikro dan Mengoptimalkan POSKO Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) dan Percepatan Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19 Tingkat
Kelurahan di Wilayah Kota Palangka Raya untuk Pengendalian Penyebaran COVID-19,
saat diterbitkannya pada tanggal 8 Juli 2021 kebijakan ini sudah mengalami
kontradiksi karena berdasarkan surat edaran tersebut di satu sisi untuk
percepatan pelaksanaan vaksinasi COVID-19 yang tentunya sudah kita ketahui
bersama akan berpotensi menimbulkan kerumunan orang banyak, salah satu contoh
konkritnya dapat kita liat saat pelaksanaan vaksinisasi COVID-19 di aula SMKN 1
Palangka Raya yang saat itu juga sudah diberlakukan PPKM, maka sudah dapat
nilai bahwasan kebijakan tersebut sudah gagal dalam implementasinya. Lalu dalam
kebijakan PPKM ini juga pemerintah kota melakukan penyekatan jalan menuju
bundaran besar, sehingga masyarakat harus melewati jalan kecil sebagai akses
lain, ini juga menimbulkan polemik ditengah masyarakat yang mana pengguna motor
dan mobil mengalami kemacetan khusus pada waktu lampu merah sehingga
menimbulkan kerumunan dijalan yang juga berpotensi untuk penyebaran COVID-19
itu terjadi, menurut sistem yuridis di Indonesia dalam penanganan COVID-19
sudah diatur pada UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, tetapi
fenomena yang terjadi pemerintah menjalankan kebijakan dalam hal ini pemerintah
provinsi, kabupaten/kota melalui instruksi Menteri Dalam Negeri yang secara
hierarki hukum Indonesia sebuah instruksi belum begitu kuat sebagai dasar untuk
mengakomodir polemik yang terjadi sekarang, karena sudah jelas pada UU Nomor 6
tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pada pasal 55 ayat 1 di Bagian
Ketiga tentang Karantina Wilayah yang berbunyi “Selama dalam Karantina Wilayah,
kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah
karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Artinya ada jaminan
keberlangsung hidup bagi masyarakat saat kebijakan ini jalankan berdasarkan
aturan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, ini tentu menjadi
poin kritisi kepada pemerintah dalam kesungguhan menyusun sebuah kebijakan yang
mampu memberi kebermanfaatan dan menjamin kesejahteraan masyarakat umum.
Tulisan ini hasil refleksi dari penulis dalam melihat rekam
jejak kebijakan pemerintah, khususnya pemerintah kota dalam penanganan
COVID-19, yang mana masyarakat tidak hanya perlu diperhatikan dari segi
kesehatan, tetapi juga untuk kebutuhan hidup masyarakat yang paling utama
diperhatikan, walaupun pemerintah sudah menganggarkan bantuan sosial dalam
bentuk tunai dan sembako untuk diberikan kepada masyarakat, itu hanya berupa
sementara dan tentu tidak dapat menyelesaikan masalah kebutuhan masyarakat
secara merata, maka dari itu dalam penyusunan kebijakan sudah terlebih dahulu
memiliki pertimbangan yang matang dan dalam implementasinya tidak menimbulkan
intimidasi terhadap masyarakat sebagai sasaran kebijakan tersebut, yang mana
masyarakat yang memiliki pendapatan per hari tentu perlu bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya, lalu dibenturkan dengan keluarnya kebijakan dari pemerintah
untuk tetap berada dirumah untuk mencegah penyebaran COVID-19, jadi ini perlu
adanya solusi yang konkrit dari pemerintah, dalam hal ini perlu adanya pemetaan
wilayah khususnya di Kota Palangka Raya sebagai alternatif untuk menjalankan
kebijakan ini yang mana memang wilayahnya masuk pada zona hitam dan berpotensi
terjadi lonjakan COVID-19 perlu diberlakukan kebijakan ini, apabila wilayah
masuk pada zona yang dikatakan masih bisa memungkinkan masyarakat melalukan
rutinitas, maka dipersilahkan untuk berkerja sebagaimana mestinya.
Terakhir saya katakan apabila kebijakan sudah diatur pada
dasar hukum yang kuat dan mampu memberi kebermanfaatan dan menjamin
kesejahteraan masyarakat umum, tetapi pada implementasinya keluar dari jalur
awal maka sudah dipastikan kebijakan tersebut omong kosong belaka.
0 comments: