Monday, July 18, 2022

Kekerasan Seksual Mengancam Generasi Bangsa


Kasus kekerasan seksual akhir-akhir ini gempar terjadi di Tanah Air, yang dimana berdasarkan SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) data kekerasan seksual yang terjadi dari tanggal 01 Januari 2022 sampai dengan saat ini tercatat sebanyak 12.593 kasus, dengan kekerasan yang dialami perempuan sebanyak 79.4 % dan dialami oleh laki-laki sebanyak 20%. Mirisnya kekerasan seksual itu gempar terjadi di dunia pendidikan akhir  akhir ini.

Tentunya hal tersebut sangat disayangkan sekali karena tempat yang seharusnya dijadikan sebagai wadah menimba ilmu malah tempat terjadinya kekerasan seksual, pelaku diduga juga memiliki peranan penting dalam lembaga sekolah/pendidikan tersebut. Hal ini tentunya dapat menjadi ancaman yang serius bagi generasi penerus bangsa, dan mejadi catatan kelam pada dunia pendidikan yang ada di Indonesia.


Padahal sudah jelas dalam UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022 pasal 4 ayat 2 tentang tindak pidana yang mengatur bentuk  bentuk kekerasan seksual yang berbunyi :  Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi: a. perkosaan; b. perbuatan cabul; c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak; d. perbuatan melanggar kesusilaarr yang bertentangan dengan kehendak Korban; e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; f. pemaksaan pelacuran; g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.


Aparat kepolisian harus secara tegas dan serius dalam menangani kasus seperti ini agar tidak terulang kembali, karena kasus pelecehan seksual sangat rentan terulang kembali dan tentunya dapat berdampak buruk jika kurang ketegasan dari Aparat Kepolisian.


Rizky Pratama, Presidium Gerakan Kemasyarakatan menyampaikan keprihatinan terhadap kasus ini, bagaimana tidak seorang yang diduga sebagai pelaku kekerasan seksual merupakan sosok penting dan panutan oleh peserta didik, tentu bagaimana pun hukum terus ditegakkan tanpa pandang bulu, agar kasus ini tidak terulang lagi kedepan.


"Kasus ini harus serius ditangani, pihak Kepolisian dan lembaga Kejaksaan harus bertindak secara tegas dalam kasus ini, agar tidak bertambahnya korban-korban kekerasan seksual dalam dunia pendidikan" tegasnya.


"Kasus ini tentu berdampak buruk pada korban, khusus menjadi catatan kelam dalam dunia pendidikan di Indonesia, sehingga sanksi hukum harus ditegakkan seadil-adilnya " tambahnya. 


Nesa Cristia, Biro Pergerakan Perempuan PMKRI Cabang Palangka Raya menyampaikan jika kekerasan seksual ini terus terjadi dapat menjadi trauma tersendiri bagi peserta didik dan dapat berdampak  buruk tentunya dalam dunia pendidikan.


"Kekerasan seksual yang terjadi ini dapat menimbulkan dampak trauma bagi peserta didik, dan sangat disayangkan wadah pendidikan yang seharusnya tempat menimba ilmu dan terciptanya manusia yang berpendidikan, ini malah berbanding terbalik dengan fakta hari ini, dunia pendidikan malah menjadi tempat yang menakutkan dan ancaman yang serius dari predator kekerasan seksual, apabila kasus ini tidak ditangani secara serius" tutupnya


Penulis, Nesa Cristia (Biro Pergerakan Perempuan)

Wednesday, July 13, 2022

PMKRI Cabang Palangka Raya : RUU KUHP Berpotensi sebagai Usaha Pembungkaman Aspirasi Masyarakat

RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau disingkat KUHP terus menuai polemik, karena pada beberapa pasal yang termaktub dalam pasal-pasal RUU KUHP ini sarat akan usaha pembungkaman terhadap aspirasi masyarakat dalam menyampaikan pendapat terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan Institusi Pemerintah dan aparat Kepolisian. Sehingga mengebiri kerangka demokrasi yang berlaku di Negara Indonesia, maka akan bermuara pada terbentuknya rezim totaliter dan menuai kontradiksi dengan pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi : “Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak atas kebebasan berpendapatan dan berekspresi, sebagai salah satu bagian dari Hak Asasi Manusia”.

Maka dari itu PMKRI Cabang Palangka Raya menyoroti pasal-pasal yang menuai polemik tersebut yaitu yang pertama, pasal 217 tentang Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden, pasal ini dirasa masih bersifat umum tidak ada spesifikasi yang jelas sebagai tolak ukur, hanya melalui aduan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden, sehingga sangat mudah dipelintir atau sebagai dalil untuk menjatuhkan seseorang dalam sanksi hukum baik disengaja maupun tidak sengaja karena menyerang martabat ataupun kehormatan Presiden atau Wakil Presiden, sehingga juga akan menimbulkan rasa cemas masyarakat untuk menyampaikan pendapat terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Pasal ini juga akan berbenturan dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hal mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan  dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau penecemaran nama baik”. 

Pasal 256 tentang penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demontrasi yang teridentifikasi sebagai bahan aparat keamanan dalam melakukan penindasan terhadap rakyat apabila melakukan aksi membela atas hak kepemilikan tanah atau sebagainya, seperti dengan aksi dadakan yang dilakukan oleh masyarakat yang menjadi korban akibat penggusuran paksa. Seperti pada penolakan invasi lahan sawit oleh masyarakat adat di Laman Kinipan Kabupaten Lamandau, aksi di wadas, aksi ibu-ibu di Besipae NTT, dll. Ini tentu akan menimbulkan penindasan sistematis dan terstruktur oleh pemerintah. Yang terakhir menurut PMKRI Cabang Palangka Raya pasal yang menuai polemik yaitu pasal 351 Bagian Kesatu tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga Negara, pasal ini tentu menciptakan herd imunity terhadap pemegang kekuasaan umum dan lembaga Negara, sehingga pemegang kekuasaan umum dan lembaga Negara akan kebal hukum dan anti kritik apabila RUU ini disahkan. Tambah lagi tidak ada spesifikasi yang jelas sebagai tolak ukur dalam diksi penghinaan untuk menjerat oknum yang menghina pemegang kekuasaan umum dan lembaga Negara.

Dalam pasal-pasal berpolemik diatas dapat disimpulkan akan berpotensi dalam usaha pembungkaman aspirasi rakyat terhadap kebijakan yang dikeluarkan Institusi Pemerintah dan aparat Kepolisian, serta menciptakan  herd imunity pada tubuh Institusi Pemerintah dan aparat Kepolisian yang bermuara pada kebal hukum dan anti kritik. Ini jelas bertentangan dengan asas hukum yaitu “equality before the law” semua pihak sama di hadapan hukum. 

Obi Seprianto, selaku ketua PMKRI Cabang Palangka Raya menegaskan apabila pasal-pasal diatas tidak dicabut maka sangat berbahaya mengancam demokrasi, bahkan patut dicurigai menjadi ancaman bagi pergerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang kritis terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah. Sehingga sangat berpotensi sebagai bibit disintegrasi bangsa.

Obi Seprianto juga mengingatkan walaupun pembahasan RKUHP ditunda, mengingat sejak 8 juli- 15 agustus 2022  DPR memasuki Masa Reses. Sehingga wakil-wakil rakyat dimasa reses ini, bisa benar-benar hadir ditengah masyarakat, berdiskusi, membuka telinga, dan nantinya  menindaklanjuti aspirasi berkaitan dengan polemik yang terjadi salah satunya RKUHP dan permasalahan krusial lainnya, agar perwujudan perwakilan rakyat dalam pemerintah benar-benar ada, bukan perwakilan penguasa didalam pemerintah.

“Momentum reses ini dapat menjadi ruang wakil-wakil rakyat untuk mendengarkan aspirasi masyarakat, salah satunya polemik yang terjadi terkait RKUHP dan permasalahan krusial lainnya” tandasnya.

Rizky Pratama, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Palangka Raya menyampaikan penolakan terhadap pasal yang disoroti PMKRI Cabang Palangka Raya merupakan pembungkaman maupun penindasan secara sistematis dan terstruktur oleh Institusi Pemerintah dan aparat Kepolisian.

“Pasal ini jelas tidak berpihak kepada rakyat, Institusi Pemerintah dan aparat Kepolisian berusaha menciptakan herd imunity terhadap kritikan dan bermuara pada sistem pemerintah yang totaliter, ini sama saja mengebiri kerangka demokrasi yang dijunjung di Negara kita Indonesia, maka dari itu pasal ini wajib ditolak” tegasnya saat ditemui awak media.

Penulis, Presidium Gerakan Kemasyarakatan




Monday, July 4, 2022

HANYA MEMANDANGNYA DARI SUDUT YANG HANGAT


Berkata kata romantis tapi tidak mau bersinggungan, ada yang betulan suka dan ada juga yang mengalahakan rasa tidak nyaman, kita butuh empati, lebih dari penghakiman

kota ini sedang dilanda gerimis takalah jalan hidup kita juga ditakdirkan untuk berubah selamanya, matamu yang pertama kali bicara, hingga menembus pertahananku secara membabi buta.

Melemparkan senyuman tapi tidak bertatapan, haha sedikit ketawa dan merasa lucu, dengan tingkah padahal perjumpaan kita begitu sederhana, sejuta rasa tumbuh dari senyumanmu, rasa berjuta pelangi mewarnai sisi gelap cintaku.

Tidak sederamatis kisah kisah yang didongengkan para punjaga, bahkan di film yang paling romantic Dilan pun tidak ada, bagiku itu udah melebihi apa yang mampu digambarkan para suastra, pada suatu hari aku ingin menjadi seseorang yang selalu mengingatkanmu akan banyak hal, kalo film Dilan menginginkan alat pengukur kebahagian mungkin suatu hari aku ingin menjadi lonceng pengingat waktu untuk kamu, agar kamu tak pernah terlambat menyadari dan agar tak pernah berlari untuk menjauh.

Pada suatu hari aku ingin menjadi seseorangmu, walau kadang aku ialah rasa lupa paling purba yang tak pernah ingin kamu ingat. Seseorang yang mengagumi dalam harapan ialah mata yang tak pernah ingin kau tatap jiwa yang tak pernah kau ingin peluk dan suara yang tak pernah mau kau dengar

Jujur saja aku pun tidak begitu mengerti dengan reaksi yang terlalu cepat, rasa ini muncul bagaikan jamur yang tumbuh saat musim hujan dibulan februari lalu, terlalu pandai berpura-pura hingga lupa kalo kita sedang pura-pura dan akhirnya kita sedang berpura puraan.

Patrisius Agang