Thursday, January 6, 2022

Cita-Cita Kehidupan Beragama Ditengah Realitas Negara yang Majemuk


Hakekat Agama dalam Negara yang Majemuk

Dalam Negara yang majemuk dengan beragam budaya, suku, bahasa, dan agama akan membawa kita dalam konsepsi berpikir pada dominasi antar golongan ditengah realitas kemajemukan yang ada. Tentu itu konsekuensi yang terjadi apabila pemahaman terhadap keragaman bersifat egosentris golongan saja, sehingga akan berpotensi terjadinya perpecahan apabila sifat ini terus tumbuh. Status agama yang akhir-akhir ini paling disoroti dan pelik untuk dibahas, bukan soal hubungan secara vertikal antar manusia dan sang Pencipta, tetapi hubungan secara horizontal antar manusia. Berdasarkan sila pertama dalam Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” yang juga mengisyaratkan kita untuk menjunjung tinggi nilai Ketuhanan sebagai wujud relasi dengan Tuhan yang diyakini sebagai sumber segala kebaikan, kebebasan dalam memeluk agama juga sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 29 yang menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya, ini suatu keberagaman yang justru menjadi simbol persatuan dengan dibalut paham toleransi untuk saling menghargai dengan menjaga keutuhan dan harmonis agar tetap terus dapat berjalan beriringan untuk mencapai cita-cita bangsa. Namun, belakangan ini isu agama dengan krisis toleransi masih terus terjadi, sebagai contoh yang terjadi pada penghujung bulan Desember 2021 yang lalu, di kawasan Tulang Bawang, Lampung dengan kasus persekusi saat ibadah Natal dan yang terjadi di daerah desa Wonorejo, Lumbang, Kab. Pasuruan dalam menyambut hari Raya Natal.

Konstitusi menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama yang dipeluknya. Lebih jauh lagi apabila Institusi agama yang melarang, terlebih melakukan kekerasan terhadap umat beragama lain yang sedang beribadah, dapat dianggap melecehkan konstitusi. Konstitusi Indonesia, yakni UUD 45 jelas menegaskan akan jaminan kebebasan beragama, dalam Pasal 28E ayat (1). Ditegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Peran negara untuk itu juga dinyatakan pada Pasal 29 Ayat (2), yakni “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Peraturan perundang - undanganan lain juga menegaskan, seperti  UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam Pasal 22 (2). "Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga menegaskan kembali, dalam Pasal (175). "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan."

Dari hal diatas sudah sangat jelas kebebasan beragama diatur dalam hukum negara. Tinggal kembali kepada penyelenggaran negara untuk menegakan dan memberi efek jera kepada pelanggar seperti yang diinginkan pendiri bangsa kita. supaya tindakan intoleransi yang merusak Identias Bangsa tidak dibiarkan berkembang biak dan tumbuh subur dalam bumi pertiwi ini. Jadi untuk seluruh masyarakat yang masih terlena dengan primordialisme agama keluarlah dari kesempitan karna kita indonesia dengan keberagaman didalamnnya, mejemuk masyarakatnya. Jadikan Pluralisme bangsa sebagai transformasi peradaban dalam meningkatkan etos kerja, etika dalam menjalankan profesi, dan produktivitas bangsa yang berbudaya demi menjaga netralitas. Tentu hal ini sudah mencederai kerukunan umat beragama, yang seharusnya agama merupakan sebuah media tentang kesadaran manusia terhadap Iman bagi sang Pencipta untuk membawa umat manusia kepada suatu keadilan, damai, dan gotong royong untuk saling meneguhkan dan mempersatukan dalam kehidupan beragama.

Agama merupakan Kesadaran Manusia

Agama seperti yang telah dibahas diatas merupakan sebuah media tentang kesadaran manusia terhadap Iman sebagai umat beragama. Dapat dipahami melalui teori Paulo Freire tentang level kesadaran kemanusiaan ini menarik untuk melihat posisi agama dalam kehidupan manusia. Paulo Freire berpandangan kesadaran kemanusia itu ada tiga level. Pertama kesadaran magis, yaitu memandang nasib manusia ditentukan oleh faktor natural (alam), atau supranatural (melampui alam) sang Pencipta. Kedua kesadaran naïf, yaitu memandang nasib manusia ditentukan oleh tindakannya sendiri. Ketiga kesadaran kritis, yaitu memandang nasib manusia ditentukan oleh struktur atau sistem yang ada. Kembali pada soal Agama dan kesadaran kemanusiaan. Saya meyakini bahwa setiap agama, apalagi yang dibawa oleh utusan Allah, punya misi awal memanusiakan manusia yang sangat kuat. Keimanan pada Allah meniscayakan sikap baik pada manusia, bahkan makhluk-Nya. Namun di tangan umatnya, agama sepertinya tergantung pada kesadaran kemanusiaan mereka. Umat beragama yang dominan kesadaran magisnya akan melihat segala hal sebagai ketentuan Tuhan atau melihat setiap ajaran agama dalam relasi umat dengan Tuhan semata, atau lebih spesifik lagi ajaran agama dihayati sebagai perintah Tuhan untuk ditaati.

    Kesadaran seperti ini sangat menetramkan, sebagai contoh dalam menghadapi situasi buruk atau kemungkinan buruk yang berada di luar kendali kita. Misalnya kematian. Ketika orang terkasih kita wafat, karena tidak mungkin dihidupkan kembali, maka lebih menenangkan jika menerimanya sebagai ketentuan mutlak Tuhan. Pun saat naik pesawat, yakni apakah pesawat akan selamat atau jatuh sudah berada di luar kendali kita sebagai penumpang, sehingga pasrah mutlak pada kehendak Tuhan atas nasib sangat menenangkan. Namun, kesadaran ini cukup berbahaya karena bisa disalahgunakan oleh pihak lain untuk tunduk mutlak pada kepentingan mereka yang dibalut sebagai “kepentingan” Tuhan. Tidak menuruti kepentingannya berarti melawan Tuhan. Agaknya manipulasi kesadaran spiritual umat beragama seperti inilah yang menjadi konteks lahirnya diksi: “agama sebagai candu” dan “politik identitas atasnama Agama”. Ditangan umat beragama dengan kesadaran Naif, ada pengaruh yang cukup berbeda. Mereka sudah mulai menghubungkan ajaran agama dengan kemaslahatan manusia, namun baru sebatas individu. Agama adalah tuntunan Tuhan untuk menjadi orang yang baik pada siapapun dan apapun sebagai sesama makhluk Tuhan. Iman menuntun umat beragama untuk menjadi suami/istri, orangtua/anak baik, orang yang berkata baik, menghormati tamu, tetangga, tidak menyiksa hewan, juga tidak merusak alam. Singkat kata, iman kepada Tuhan mengharuskan kita berprilaku baik. Terakhir, di tangan umat dengan kesadaran kritis, agama tidak hanya dipahami sebagai tuntunan untuk melakukan kebaikan, tapi juga menggunakan kekuatan untuk memerintahkan semua pihak bertindak secara layak, dan melarang mereka bertindak sewenang-wenang. Agama adalah soal menciptakan sistem kehidupan yang memberi kebaikan pada semesta, lintas negara, agama, manusia, bahkan makhluk hidup yang lain. Agama mesti dihayati sebagai kekuatan untuk menegakkan asas keadilan dan kemanusiaan, karenanya fenomena sosial yang terjadi terkait agama yang menindas agama lain harus ditegakkan atas dasar hukum dan hakekat agama pada umumnya sesuai yang telah ditafsir bukan mutlak atas dasar kepentingan semata saja, sehingga perlu adanya pemahaman bahwa agama adalah simbol persatuan dalam kesadaran manusia terhadap iman untuk kemudian umat manusia dapat berjalan secara bersama-sama dalam satu bingkai persaudaraan, dalam kontekstualisasi Negara Indonesia yang beragam saat ini, hendaknya nilai persaudaraan ini terus dipupuk dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang terus digaungkan sebagai tali pengikat dalam kehidupan bernegara.

Penulis, Presidium Gerakan Kemasyarakatan
Previous Post
Next Post

0 comments: