Thursday, April 2, 2020

SELLA DAN JEMBATAN KAHAYAN

"Di jembatan ini, aku menunggu dan berharap bahwa dia akan menghampiriku. Ini adalah alasan mengapa aku selalu di sini untuk memandang langit kala senja tiba hingga malam memeluk erat jembatan ini."


 
Senja ini, aku kembali duduk di ujung jembatan ini. Di kejauhan sana, aku melihat sosok yang tidak asing di mataku. Aroma parfum yang mengikat dari kejauhan pun tidak asing di hidungku seperti setiap kali aku berkisah tentang namanya.
Kisahku bersama Sella berakhir satu tahun yang lalu. Belakangan, tak pernah bertemu. Bahkan, saling menanyakan kabarpun tidak. Setahun belakangan, sepertinya kami hanya memandang bintang yang sama di langit yang jauh. Bintang itu berada di antara aku dan Sella dan masing-masing kami menatap dari ujung yang berbeda.
Sumber aroma parfum itu makin dekat ke arahku. Aromanya seakan mengundang aku dan memberitahu untuk tidak beranjak dari jembatan yang penuh kenangan ini. 
Di jembatan ini, untuk pertama kali, aku dan Sella bersama-sama memandang senja. Kala itu, kuucapkan kata sarat makna. Kataku bagai bola pinalti yang berada di antara penendang pilihan dan goalkeeper. Aku dan Sella  berhadapan, satu lawan satu.  Aku bak penendang jitu yang berjuang untuk melesatkan tendangan ke gawang Sella dalam pertandingan senja itu. Aku ingin membuktikan niatku merajut hubungan yang dinamakan jembatan cinta.
“Sella…,” panggilku dari pinggir jembatan. Aku memberanikan diri memanggil nama itu lagi. Aku kenal betul bahwa seniorita itu adalah Sella. Suasana pergantian senja ke malam seakan cepat berlalu tanpa menitipkan pesan bahwa senja akan menghilang.
Ternyata, aku memang tak salah memanggil nama itu. Sambil menoleh ke arahku, ia menjawab “Iya mas Ardus.” Suara itu pun tidak asing di telingaku. Dengan manja, namaku meluncur dari bibir mungil itu. Dan, hal itu seakan memberikan satu kepastian baru yang dipersembahkan ketika Sella melafal kata untuk namaku.
Aku tidak sempat mengingat lagi hal romantis dulu yang sempat terjalin di antara kami. Seluruh tubuhku kaku-mati seketika, seperti sedang mengurung di rumah karena takut virus corona yang lagi mewabah. Sekujur tubuh ini seakan tidak kompromi untuk bisa memberikan salam lagi. Jembatan seakan bergetar kencang, diguncang gempa sekian skala richter. Kini, aku dan Sella berhadapan lagi di jembatan ini. Lagi-lagi, jembatan ini menjadi saksi bisu perjumpaan kami berdua.
Angin sepoi menjadi lagu romantis yang riuh saat kusapa “Apa kabar Sell…?” sambil menyodorkan tanganku yang berbalut keringat dingin seakan agak ragu meraih tangannya. “Mungkinkah Sella mau kujabat tangannya?” demikian aku membatin. Dan, tangan mungil nan lembut itu langsung saja meraih tanganku yang dari tadi menunggu untuk ditemani menjadi satu katup rangkain perjumpaan.
Sambil senyum manja dengan ginsulnya yang manis dan juga suara yang lembut telingaku menyapaku “Iya… Mas Ardus. Apa kabar dirimu mas…” Rasanya, jembatan itu mau roboh ketika kalimat yang tak asing itu keluar dari mulut mugil itu. Aku pun salah tingkah di depan perempuan yang selama setahun ini mengurung diri dalam kerinduan dan kata-kataku pun seakan habis seketika.
Kebiasaanku merayunya kini muncul di sela derasnya rasa rinduku. Kepada Sella, sempat kukatakan “Sell …, coba deh tatap langit itu. Di sana, ada begitu banyak cara bintang untuk bersinar.”
“Ya mas. Memangnya, kenapa mas?”
Sambil menunduk dengan suara yang agak gugup saya lanjutkan gombalku “Ya, begitulah rasa rindu selama setahun ini Sell. Berbagai cara kuekspresiknan setiap momen yang pernah kita lalui bersama dulu.”
Sembari tersenyum, Sella menyenggol lenganku dan berbisik “Ah … Mas Ard bisa aja.” Lalu, Sella melanjutkan “Mas gak pernah berubah ya, gombalmu itu!”
Aku diam seribu kata ketika Sella berujar “Mas, aku merasakan hal yang sama. Apakah masih ada rasa itu, mas?” Pertanyaan hati ini tidak mudah. Sambil memegang kedua tangannya yang mungil itu, untuk kedua kalinya aku mengungkapkan rasa itu. Dengan gagah perkasa, di depan wanita mungil ini, aku menjawab pertanyaan Sella “Ya Sell, aku masih sayang sama Kamu.” Matanya yang tadi kulihat berbinar karena bahagia atas perjumpaan ini, kini berubah 149 derajat menjadi keruh dan berlinang air mata.
“Sell…, Kamu kenapa?” sembari mengusap pipinya yang mulai berderai air mata. Aku terhanyut bersamanya. Di sela isak tangisnya, aku katakan “Sell.., apapun yang kamu rasakan , aku ada di sampingmu Sell.”
Sella tampak melihat ada yang salah di wajahku karena mungkin apa yang kusampaikan tadi itu salah. Sella melihat ke arahku di sela nafasnya yang masih terenggah dan mulai lagi mengangkat kedua tanganku di atas tanganya yang lembut itu. Dengan lembut, Sella berujar “Mas, aku gak apa-apa mas. Aku cuma terharu saja dengan mas yang masih sayang dan cinta sama aku.”
Suasana  sudah beralih ke pangkuan malam. Jembatan diselimuti sinar lampu di kota ini. Sebelumnya, aku dan Sella memang sering menikmati momen seperti ini. Demikianlah cara kami yang berbeda dari orang lain untuk melepas kerinduan.
Mas, aku mau bicara sebentar. Aku rasa ini penting mas dan mas harus tahu juga apa yang terjadi selama setahun ini mas.”
“Ya … Sell.” Air mataku hampir jatuh melihat Sella yang mulai menangis.
Denga lirih, Sella memberitahuku hal itu. “Mas, selama setahun, aku kenal dengan pria lain. Dia seorang guru. Kami kenal lewat media sosial. Kurang lebih 10 bulan kami berdua menjalin kasih dan ada rasa sayang di antara kami. Lalu, kami berpacaran dan sering menghabiskan waktu bersama. Kami juga sudah saling mengenal satu sama lain. Kami sudah saling mengenal luar dan dalam sedemikian jauh. Dua bulan belakangan, kami tidak saling menerima satu sama lain. Padahal, kami berdua akan segera melangsungkan pertunangan.”
Usai Sella menyampaikan akan segera bertunangan, hatiku hancur berantakan seperti kapal Titanic yang terbentur gunung es dan akhirnya pecah menjadi dua. Hatiku merasa kaku, tak bisa disentuh dengan apapun lagi. Kebahagiaanku bertemu Sella, kini terasa sunyi dan hampa.
Mas …, pada saat pacarku mengajak untuk bertunangan, hidupku serasa dibaluti kebahagian dan rasanya niatku untuk bersamanya tidak bisa dibendung lagi. Tetapi, semua itu cuma sebatas anganku. Semuanya hancur berantakan dan puing-puingnya pun tak bisa digunakan lagi. Hidupku seakan mati-kaku di dalam balutan kasih dan sayang kami berdua. Aku pun bangkit dan menyimpan rasa kepastian itu agar bisa tabah menjalani hidupku. Mas …, aku terjebak di perjalanan cinta kami. Dia menghilang dan kini sudah bertunangan dengan perempuan lain. Perempuan itu jodoh pilihan orang tuanya. Sementara itu, aku tidak tau apa yang dapat kujani. Mas …, aku merasa hidup ini tidak berguna lagi.”
“Sell …” bisikku sembari membelai rambutnya “aku masih sayang sama kamu. Aku selalu ada untukmu. Apakah kamu mau untuk merajut kembali kisah kasih kita?”
Sontak, suasana menjadi ceria. Rupanya, Sella menunggu kata-kata dari mulutku. Sella menjawab “Ya mas, aku masih sayang juga sama mas. Terima kasih banyak  mas atas keikhlasan menerimaku.”
Malam menjadi saksi bisu kisah cinta kami yang kembali terajut di atas Jembatan Kahayan. Aku pun menyadari bahwa ternyata cinta sejati itu bisa datang kedua kalinya pada saat yang tepat.


Penulis : Yakobus Lucky Vantura


Previous Post
Next Post

2 comments:

  1. Numpang promo ya gan
    kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
    ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*

    ReplyDelete