"Di
jembatan ini, aku menunggu dan berharap bahwa dia akan menghampiriku. Ini
adalah alasan mengapa aku selalu di sini untuk memandang langit kala senja tiba
hingga malam memeluk erat jembatan ini."
Senja ini, aku kembali duduk di ujung jembatan ini. Di kejauhan sana, aku melihat sosok yang tidak asing di mataku. Aroma parfum yang mengikat dari kejauhan pun tidak asing di hidungku seperti setiap kali aku berkisah tentang namanya.
Kisahku bersama Sella berakhir satu tahun
yang lalu. Belakangan, tak pernah bertemu. Bahkan, saling menanyakan kabarpun
tidak. Setahun belakangan, sepertinya kami hanya memandang bintang yang sama di
langit yang jauh. Bintang itu berada di antara aku dan Sella dan masing-masing
kami menatap dari ujung yang berbeda.
Sumber aroma parfum
itu makin dekat ke arahku. Aromanya seakan mengundang aku dan memberitahu untuk
tidak beranjak dari jembatan yang penuh kenangan ini.
Di jembatan ini, untuk
pertama kali, aku dan Sella bersama-sama memandang senja. Kala itu, kuucapkan
kata sarat makna. Kataku bagai bola pinalti yang berada di antara penendang
pilihan dan goalkeeper. Aku dan Sella berhadapan, satu
lawan satu. Aku bak penendang jitu yang berjuang untuk melesatkan
tendangan ke gawang Sella dalam pertandingan senja itu. Aku ingin membuktikan
niatku merajut hubungan yang dinamakan jembatan cinta.
“Sella…,” panggilku dari pinggir jembatan.
Aku memberanikan diri memanggil nama itu lagi. Aku kenal betul bahwa seniorita
itu adalah Sella. Suasana pergantian senja ke malam seakan cepat berlalu tanpa
menitipkan pesan bahwa senja akan menghilang.
Ternyata, aku
memang tak salah memanggil nama itu. Sambil menoleh ke arahku, ia menjawab
“Iya mas Ardus.” Suara itu pun tidak asing di telingaku.
Dengan manja, namaku meluncur dari bibir mungil itu. Dan, hal itu seakan
memberikan satu kepastian baru yang dipersembahkan ketika Sella melafal kata
untuk namaku.
Aku tidak sempat mengingat lagi hal
romantis dulu yang sempat terjalin di antara kami. Seluruh tubuhku kaku-mati
seketika, seperti sedang mengurung di rumah karena takut virus corona yang lagi
mewabah. Sekujur tubuh ini seakan tidak kompromi untuk bisa memberikan salam
lagi. Jembatan seakan bergetar kencang, diguncang gempa sekian skala richter.
Kini, aku dan Sella berhadapan lagi di jembatan ini. Lagi-lagi, jembatan ini
menjadi saksi bisu perjumpaan kami berdua.
Angin sepoi menjadi lagu romantis yang
riuh saat kusapa “Apa kabar Sell…?” sambil menyodorkan tanganku yang berbalut
keringat dingin seakan agak ragu meraih tangannya. “Mungkinkah Sella mau
kujabat tangannya?” demikian aku membatin. Dan, tangan mungil nan lembut itu
langsung saja meraih tanganku yang dari tadi menunggu untuk ditemani menjadi
satu katup rangkain perjumpaan.
Sambil senyum manja dengan ginsulnya yang
manis dan juga suara yang lembut telingaku menyapaku “Iya… Mas Ardus.
Apa kabar dirimu mas…” Rasanya, jembatan itu mau roboh ketika
kalimat yang tak asing itu keluar dari mulut mugil itu. Aku pun salah tingkah
di depan perempuan yang selama setahun ini mengurung diri dalam kerinduan dan
kata-kataku pun seakan habis seketika.
Kebiasaanku merayunya kini muncul di sela
derasnya rasa rinduku. Kepada Sella, sempat kukatakan “Sell …, coba deh tatap
langit itu. Di sana, ada begitu banyak cara bintang untuk bersinar.”
“Ya mas. Memangnya,
kenapa mas?”
Sambil menunduk dengan suara yang agak
gugup saya lanjutkan gombalku “Ya, begitulah rasa rindu selama setahun ini
Sell. Berbagai cara kuekspresiknan setiap momen yang pernah kita lalui bersama
dulu.”
Sembari tersenyum, Sella menyenggol
lenganku dan berbisik “Ah … Mas Ard bisa aja.”
Lalu, Sella melanjutkan “Mas gak pernah berubah ya, gombalmu
itu!”
Aku diam seribu kata ketika Sella berujar
“Mas, aku merasakan hal yang sama. Apakah masih ada rasa itu, mas?”
Pertanyaan hati ini tidak mudah. Sambil memegang kedua tangannya yang mungil
itu, untuk kedua kalinya aku mengungkapkan rasa itu. Dengan gagah perkasa, di
depan wanita mungil ini, aku menjawab pertanyaan Sella “Ya Sell, aku masih
sayang sama Kamu.” Matanya yang tadi kulihat berbinar karena bahagia atas
perjumpaan ini, kini berubah 149 derajat menjadi keruh dan berlinang air mata.
“Sell…, Kamu kenapa?” sembari mengusap
pipinya yang mulai berderai air mata. Aku terhanyut bersamanya. Di sela isak
tangisnya, aku katakan “Sell.., apapun yang kamu rasakan , aku ada di sampingmu
Sell.”
Sella tampak melihat ada yang salah di
wajahku karena mungkin apa yang kusampaikan tadi itu salah. Sella melihat ke
arahku di sela nafasnya yang masih terenggah dan mulai lagi mengangkat kedua
tanganku di atas tanganya yang lembut itu. Dengan lembut, Sella berujar “Mas,
aku gak apa-apa mas. Aku cuma terharu saja
dengan mas yang masih sayang dan cinta sama aku.”
Suasana sudah beralih ke pangkuan
malam. Jembatan diselimuti sinar lampu di kota ini. Sebelumnya, aku dan Sella
memang sering menikmati momen seperti ini. Demikianlah cara kami yang berbeda
dari orang lain untuk melepas kerinduan.
“Mas, aku mau bicara sebentar. Aku
rasa ini penting mas dan mas harus tahu juga
apa yang terjadi selama setahun ini mas.”
“Ya … Sell.” Air mataku hampir jatuh
melihat Sella yang mulai menangis.
Denga lirih, Sella memberitahuku hal itu.
“Mas, selama setahun, aku kenal dengan pria lain. Dia seorang guru. Kami kenal
lewat media sosial. Kurang lebih 10 bulan kami berdua menjalin kasih dan ada
rasa sayang di antara kami. Lalu, kami berpacaran dan sering menghabiskan waktu
bersama. Kami juga sudah saling mengenal satu sama lain. Kami sudah saling
mengenal luar dan dalam sedemikian jauh. Dua bulan belakangan, kami tidak
saling menerima satu sama lain. Padahal, kami berdua akan segera melangsungkan
pertunangan.”
Usai Sella menyampaikan akan segera
bertunangan, hatiku hancur berantakan seperti kapal Titanic yang terbentur
gunung es dan akhirnya pecah menjadi dua. Hatiku merasa kaku, tak bisa disentuh
dengan apapun lagi. Kebahagiaanku bertemu Sella, kini terasa sunyi dan hampa.
“Mas …, pada saat pacarku
mengajak untuk bertunangan, hidupku serasa dibaluti kebahagian dan rasanya
niatku untuk bersamanya tidak bisa dibendung lagi. Tetapi, semua itu cuma
sebatas anganku. Semuanya hancur berantakan dan puing-puingnya pun tak bisa
digunakan lagi. Hidupku seakan mati-kaku di dalam balutan kasih dan sayang kami
berdua. Aku pun bangkit dan menyimpan rasa kepastian itu agar bisa tabah
menjalani hidupku. Mas …, aku terjebak di perjalanan cinta
kami. Dia menghilang dan kini sudah bertunangan dengan perempuan lain.
Perempuan itu jodoh pilihan orang tuanya. Sementara itu, aku tidak tau apa yang
dapat kujani. Mas …, aku merasa hidup ini tidak berguna lagi.”
“Sell …” bisikku sembari membelai
rambutnya “aku masih sayang sama kamu. Aku selalu ada untukmu. Apakah kamu mau
untuk merajut kembali kisah kasih kita?”
Sontak, suasana menjadi ceria. Rupanya,
Sella menunggu kata-kata dari mulutku. Sella menjawab “Ya mas, aku
masih sayang juga sama mas. Terima kasih banyak mas atas
keikhlasan menerimaku.”
Malam menjadi saksi bisu kisah cinta kami
yang kembali terajut di atas Jembatan Kahayan. Aku pun menyadari bahwa ternyata
cinta sejati itu bisa datang kedua kalinya pada saat yang tepat.
Penulis : Yakobus Lucky Vantura
Numpang promo ya gan
ReplyDeletekami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*
👍👋
ReplyDelete