Oleh
Cresensia Dina
Pada bulan Mei tahun 2020 ini, di tengah
pandemi corona virus disease 2019
(covid 19), Gereja Katolik Roma secara khusus mendedikasikan doa Rosario bagi
“kesembuhan dan keselamatan bumi.” Gereja secara sadar mengajak seluruh umat
beriman di dunia untuk berdoa bagi bumi, tetapi lebih dari itu ada suatu
himbauan moral bagi umat manusia untuk berbalik arah (metanoia) dari cara hidup
lama kepada cara hidup yang ekologis. Ensiklik Laudato Si (2015) yang diterbitkan oleh Sri Paus Fransiskus itu
dimaksudkan agar umat manusia melakukan suatu pertobatan ekologis.
Pertobatan ekologis artinya ada suatu
tindakan aktif yang berangkat dari kesadaran dan otonomi manusia untuk
memperlakukan alam sebagai subyek dan
bukan obyek yang dieksploitasi secara sewenang-wenang. Zaman modern yang
ditandai dengan sikap kritis manusia tidak saja menghadirkan kemajuan bagi umat
manusia tetapi juga memiliki ekses negatif terhadap relasi manusia dengan alam.
Tulisan ini mencoba melihat hubungan antara
covid 19 dengan kerusakan ekologis akibat keserakahan manusia. Selain itu,
tulisan ini juga mencoba mengangkat semangat pertobatan ekologis sebagai salah
satu alternatif untuk menyembuhkan bumi dari situasi krisis yang terjadi saat
ini.
Covid 19 dan Ketidakseimbangan Ekologis
Manusia memandang alam bukan sebagai sumber
yang menghidupkan, tetapi sebagai objek yang hadir untuk dieksploitasi isinya.
Akibat langsung dari pola relasi manusia-alam yang bersifat subyek-obyek ini
tidak hanya merusak alam beserta isinya di satu sisi, tetapi juga turut
menghancurkan kehidupan orang-orang miskin dan tertindas di sisi yang
lainnya.
Apakah ada hubungan antara kerusakan ekologis
dan covid 19? Jawabannya ada karena kedua hal itu berkelindan satu dengan yang
lain. Covid 19 adalah suatu konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia
sebagai akibat dari kerusakan ekologis yang disebabkannya.
David Hayman, seorang ahli ekologi dan
penyakit menular dari Universitas Massey, Selandia Baru, mengemukakan
pendapatnya tentang hubungan antara covid 19 dan ekologis yang saling
berkelindan. Menurutnya pandemi yang terjadi saat ini merupakan akibat dari
rusaknya ekosistem dan sistem rantai makanan yang ada.
“Tiap spesies punya peran khusus dalam
ekosistem. Jika sebuah spesies mengambil tempat spesies lain, ini bisa
berdampak besar dalam hal resiko penyakit. Dan kerap kita tidak bisa
memperkirakan resikonya” (Detik.com, 20/4/2020).
Dalam laporan UNEP Frontier Tahun 2016
menyebutkan bahwa pada abad ke-20 terjadi peningkatan penyakit menular yang bersumber dari hewan
(zoonosis). Zoonosis ini berkaitan erat dengan ketidakseimbangan ekologis yang
disebabkan oleh kerusakan ekosistem alam. Ekosistem yang rusak akan
mengakibatkan chaos yang berdampak pada ketidakstabilan kosmik.
Ketidakstabilan ekologis yang paling mungkin
terjadi di luar bencana alam adalah mental destruktif manusia terhadap alam.
Mentalitas zaman modern yang tampil ke panggung sejarah dengan ide besar
antroposentrisme begitu mengagungkan individu sebagai pusat segala sesuatu dan
yang lain hanyalah obyek dari pikiran belaka mesti dibalik. Manusia bukan
satu-satunya dan bukan pusat segala sesuatu, tetapi sebagai bagian dari
keseluruhan dan keutuhan kosmik yang ada.
Kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari
realitas yang besar dan bukan pusat dari segala sesuatu adalah suatu bentuk
“pertobatan” dalam memandang dengan penuh hormat dan takjub terhadap realitas
di luar dirinya. Dalam konteks ini, mengikuti seruan Sri Paus Fransiskus, kita
perlu melakukan pertobatan ekologis. Suatu sikap batin yang memandang alam
sebagai “saudari” dan “ibu” yang menghidupkan dan sikap batin itu hendaknya
diejawantahkan di dalam tindakan praktis sehari-hari.
Pertobatan
Ekologis
Covid 19 tak hanya menebarkan teror kematian
yang merenggut ratusan ribu nyawa dan miliaran orang yang hidup dalam
ketidakpastian eksistensial, tetapi juga mengubah perilaku individu di dalam
relasi dengan yang lain. Kita lihat di kota-kota di banyak negara pemerintah
memberlakukan kuncitara (lockdown)
dan menerapkan social/physical distancing
dan bahkan memberlakukan work from
home untuk meminimalisir penyebaran covid 19.
Keseharian kita yang ditandai dengan
“keramaian” dalam relasi dengan yang lain berubah seketika menjadi keberjarakan
untuk sebuah kehidupan. Mahkluk sosial berubah menjadi makhluk yang menyendiri
atas nama antisipasi penyebaran covid 19. Aktivitas di luar rumah yang banyak
menyumbang polusi udara untuk sementara waktu dihentikan dan dampaknya adalah
udara kita kembali cerah meski untuk sesaat.
Penulis percaya bahwa keberlangsungan
organisme yang hidup sudah selalu saling terkait satu dengan yang lain. Ada
semacam hubungan resiprokal antara setiap yang hidup dan keterjalinan itu
saling mengandaikan kehidupan yang lain. Konsekuensinya adalah ketika satu
jalinan rantai makanan dimusnahkan maka dengan sendirinya keutuhan ekosistem
akan terganggu dan rusak.
Kerusakan alam dapat disebabkan oleh bencana
alam yang datang dari alam sendiri dan disebabkan oleh perilaku manusia yang
memandang alam sebagai obyek untuk dieksploitasi. Kerusakan baik yang
diakibatkan oleh alam maupun oleh tindakan manusia pada gilirannya akan membuat
alam untuk menyembuhkan dirinya sendiri agar keberlangsungan hidup organisme
tetap berlanjut. Jika alam tidak menyembuhkan dirinya sendiri barangkali itu
pertanda kiamat.
Joan Udu, OFM, melukiskan situasi krisis
ekologis ini sebagai jeritan bumi akibat kepongahan manusia-manusia serakah
yang tidak tahu berbalas budi. “Kerusakan yang dialami bumi saat ini
berkelindan dengan kerakusan kita manusia. Sikap, cara pandang, dan cara
bertindak kita yang cenderng egoistis membuat bumi terpuruk. Bumi tidak lagi
dilihat sebagai ‘saudari’ , sebagai subyek hidup yang menyediakan segala hal
yang kita butuhkan, tetapi sebagai obyek eksploitasi untuk melayani hasrat
konsumeris kita yang tak terbatas” (Kompas,
19/5/2020).
Pertobatan ekologis menuntut perubahan cara
pandang dan tindakan manusia secara radikal dalam memandang alam ciptaan. Alam
hendaknya diletakan sebagai subyek yang memberi hidup, bukan sebagai obyek
pelampiasan keserakahan manusia. Alam hendaknya dipandang sebagai “saudari”
yang mengasuh dan menghidupkan.
Pertobatan ekologis hanya mungkin terwujud
manakala manusia menyadari bahwa kerusakan alam yang terjadi selama ini
diakibatkan oleh sikap mengutamakan keakuan yang radikal di antara ciptaan yang
lain sedemikian rupa sehingga aku harus menjadi tuan dan yang lain ada sejauh
untuk melayani hasratku. Keakuan harus diubah menjadi kekitaan. Di dalam
kekitaan ada saling ketergantungan dan kesadaran itulah yang “memaksa” manusia
untuk tidak lagi bertindak egois tetapi hidup untuk melayani dan berbagi dengan
yang lain termasuk alam.
Pertobatan ekologis akan mengubah paradigma
manusia dalam memandang alam. Alam bukan lagi obyek yang hadir untuk
dieksploitasi tetapi sebagai ibu dan saudari yang dari padanya kita hidup. Alam
adalah subyek.
Numpang promo ya gan
ReplyDeletekami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*