Friday, May 29, 2020

SEPUTAR TEMPAT BERLADANG SUKU DAYAK MA’ANYAN DENGAN CARA DIBAKAR


“Perjalanan hidup adalah kenangan yang menyenangkan dapat menginpirasi orang lain bahkan dapat membuat kita tertawa sendiri ketika mengingatkannya kembali”

Mengitari perkampungan di sekitar tempat saya dilahirkan tentunya menarik untuk dipandang dan merasakan nuansa ketenangan. Tetapi menjadi kekurangan bahkan Kelemahannya sekarang ini masih banyaknya cerita tempo dulu yang kurang kita pahami oleh generasi muda saat ini apalagi tentang manfaat bahkan tujuan dari suatu kegiatan turun-temurun di dalam masyarakat setempat dilaksanakan seperti kebiasaan masyarakat dayak maanyan dalam hal membuka lahan untuk berladang dengan cara dibakar sampai puncaknya ucapan syukur atas hasil panen yang didapat. Di dalam siklus tersebut tentunya ada beberapa proses yang harus dilalui pemilik ladang untuk mencapai hasil akhir yang maksimal sesuai yang diharapkan. Sehingga untuk menjawab hal tersebut pada sore hari saya ngobrol santai bersama seorang nenek asli suku dayak maanyan yang sudah bisa dikatakan memahami  dalam hal membuka lahan untuk menanam padi dengan cara membakar baik dari metode sederhana yang biasa dilakukan, maupun dari syarat-syarat yang harus dilakukan maupun pantangannya/aturan yang harus senantiasa ditaati.

Hal tersebut disampaikan, sebab semenjak dia dilahirkan sudah melihat besarnya pohon di tengah hutan kalimantan yang penuh dengan kesejukan dan kenikmatan bahkan hutan sudah menjadi rumah keduanya sebab menjadi sumber kehidupan sampai saat ini adalah dari hutan “Lahir di hutan, mencari makan dari hutan”. bahkan keganasan/kebengisan hutan kalimantan pun tak luput dia ceritakan dari pengalaman perjalanan panjangnya dimasa lalu, nama nenek tersebut Sadem Bin Lamen adalah seorang perempuan yang lahir 87 tahun silam di pelosok hutan Kalimantan yang sekarang sudah menjadi perkebunan sawit, dia sering dipanggil dengan sebutan nenek jumpet karna sudah memiliki cucu 18 cicit 10 dan saya sendiri adalah cucunya.

Dalam tulisan singkat dari hasil percakapan di teras rumah ini memuat tentang pengalaman nenek jumpet yang beranjak dari kerinduannya untuk mengingat kembali perjuangan panjangnya untuk dapat bertahan hidup ditengah keterbatasan dalam ekonomi yang selalu menghantui setiap waktu. salah satunya upaya yang dia lakukan waktu itu untuk melawan kemiskinan adalah dengan selalu melakukan pembukan lahan dengan cara membakar untuk menanam padi. sehingga cerita seputar proses berladang suku dayak maanyan secara terkhusus yang berada didesa simpang naneng tempo dulu, sampai pada saat ini yang masih diterapkan masyarakat setempat masih lengket dalam ingatannya seperti proses berladang masyarkat setempat selalu dimulai dengan Tamaroh/nyuwuk lasi, Neweng, Muau, masi dan ucapan rasa syukur masyarakat kepada sang pencipta, adapun uraian singkatnya ada dibawah ini. 

Tamaroh/Nyuwuk Lasi
Dalam konsep bercocok tanam masyarakat Dayak Maanyan dalam hal membuka lahan dengan cara membakar pastinya dimulai dengan Tamaroh/nyuwuk lasi, hal tersebut dilakukan orang untuk memantau/melihat hutan yang akan dibuka menjadi lahan bercocok tanam dan minta ijin kepada tanah tersebut sebagai rasa hormat yang telah memberi suatu penghidupan. Tamaroh/nyuwuk lasi secara umum adalah suatu kegiatan membuka lahan dengan memotong kayu-kayu kecil dengan menggunakan parang, biasanya dilakukan masyarakat suku dayak Maanyan pada musim penghujan biasanya di akhir bulan juni. Sebab Masyarakat mempercayai masa/waktu tesebut menurut kepercayaan orang dulu (nenek moyang mereka) dapat “membuat busuk kepala dan sarung parang, membuat busuk tas tradisonal yang terbuat dari rotan (lanjung)” dalam artian sederhananya memotong kayu menggunakan parang sehingga diharapkan pohon tersebut dapat busuk dan kering untuk siap dibakar nantinya sebagai tempat menanam padi.
Neweng dan nutung

Selesainya Tamaroh/nyuwuk lasi, ada proses selanjutnya yang harus ditempuh masyarakat setempat yang dinamakan dengan neweng (membuka lahan dengan memotong kayu-kayu besar sisa dari Tamaroh) biasanya dilakasanakan bulan juli dan agustus dengan menggunakan beliung atau zaman sekarang menggunakan mesin sinso. Sedangkan di bulan septembernya menjadi proses nelai jewe (membiarkan pohon yang ditebang didalam lahan menjadi kering) supaya siap dibakar untuk menjadi lahan menamam padi masyarakat dayak Maanyan. Pastinya dalam proses tersebut cuaca memasuki musim kemarau maka setelah lahan kering sudah siap untuk dibakar (Nutung). dan ada juga sebagian masyarakat setempat di akhir bulan september sudah memulai untuk Muau pidahulu (menabur benih padi dilahan yang sudah dibuka lebih cepat dari kebiasaan sebelumnya yang dilakukan masyarakat dayak maanyan).

Muau
Proses waktu yang tepat untuk menaburkan benih padi dilahan yang habis dibakar tadinya menurut masyarakat setempat, adalah satu bulan sehingga jatuhnya di bulan Oktober atau diawal November. Menurut orang dulu (nenek moyak suku dayak Maanyan) bulan oktober adalah bulan katiga sedangkan bulan september adalah bulan karo. Pembeda antara keduanya terdapat didalam prosesnya bulan karo adalah penantian untuk benih padi siap ditaburkan sedangkan bulan ketiga adalah benih ditaburkan kepada lahan yang dijadikan tempat bertani. Sehingga setelah mulai redupnya bulan karo (september) banyak orang sudah masuk kedalam proses menaburkan benih padi “dite gilai, longkong madinei” atau padi pulut dan padi biasa di lahan yang telah dibakar sebelumnya. Maka memasuki bulan katiga (Oktober) padi sudah berat dan siap untuk tumbuh. Sehingga lamanya waktu/batasan waktu yang dibutuhkan berdasarkan tradisi dan kebiasaan masyarakat setempat untuk proses menabur benih padi berakhir di bulan oktober atau awal november.

Terdapat juga sesuatu hal yang menarik dipelajari dan menjadi pertanyaan kepada orang yang baru mengikuti proses menanam benih padi didalam suku dayak maanyan pastinya. Biasanya sebelum dimulai menaburkan benih padi, diletakanlah sebuah patok yang letak posisinya tepat di tengah Ume (lahan tempat berladang orang dayak Maanyan) yang dinamakan masyarakat setempat panuwuan. Panuwuaan biasanya sebagai pusat pertamakali dimulainya orang menabur benih padi dilahan tersebut dan juga sebagai tempat berakhrinya memanen padi nantinya. Panuwuan secara kasat mata adalah patok/bekas kayu yang letaknya berada ditengah lahan secara pilosofi  suku dayak maanyan tentu banyak hal yang dapat kita maknai dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut cerita nenek moyang dulu ungkap nenek jumpet padi ibaratkan manusia dan panuwuan adalah rumahnya tempat dia tinggal dan memulai segalanya untuk suatu kebaikan di kehidupan. Secara filosofi “Padi beranjak pergi dari panuwuan dan kembali kepada panuwuan”, dapat dianalogikan padi pergi berlayar dengan tujuan mencari emas, intan, dan permata untuk dibawa pulang sebagai hasil yang dipersembahkannya kepada orang di panuwuannya yaitu pemilik lahan atau dalam realitasnya padi yang dihasilkan nantinya bagus tanpa cacat dan berisi semua sehingga hasil panen berlimpah ruah. 


Tentunya didalam perjalanan padi tersebut tidak semuanya dapat berjalan dengan mulus pasti ada rintangan maka kebiasaan pemilik lahan berdoa didepan panuwuan sambil menaburkan benih dan berkata “ nama ku normalia nama ikam norrajaaulia diam dipohon tungul makan wasi mencari amas intan kesitu kemari, ada hampe wua jawaa wawui-kawawe, kawan parang-palanuk, umpit- balawau, tenek awangau, mitahleh hanyu tanjung mawitu, rantau sukat bujur ada mitah tanjung ekut wintan, rantau elong banyu, mitah lah tanjung kala bantang uwei, rantau kala entang luyang, ada naun saliah mayaru ati harus tatap hempe tujuan kembali teka pelayaran ma panuwuan” artinya selama proses mencari emas-intan, jangan sampai padi dirusak/diganggu oleh binatang-binatang yang dapat menyebabkan padi yang dihasilkan tidak bagus sesuai yang diharapkan pemilik lahan. Sehingga setelah selesai proses tersebut barulah dimulai menabur padi dilahan tersebut atau dalam bahasa dayak maanyannya Muau.  

Dalam proses menaburkan benih padi juga sangat berbeda dengan memanen padi, seperti halnya menabur benih itu dimulai dari pinggir dengan jalur miring kearah matahari terbit dengan tujuan yang dimaksud orang dulu (Nenek Moyang) agar dapat menghimpun semua padi masuk kedalam tengah lahan yang terdapat panuwuan yang menjadi rumah padi sehingga segala bentuk mara bahaya menjauh dan tidak dapat merusak pertumbuh dan perkembang padi sehingga nantinya tetap terjaga.

Masi
Masi (memanen padi/memetik padi) biasanya dilaksanakan diakhir bulan Maret sampai awal bulan Mei, biasanya dilakukan saat kondisi cuaca yang seimbang tidak musim penghujan maupun kemarau. Hal tersebut juga  menjadi tahap terakhir dalam segala proses berladang masyarakat setempat dan nantinya lahan tersebut dialih fungsikan dengan ditanamkan pohon karet yang menjadi mata pencarian sebagian besar masyarkat setempat .
Sebelum pemilik lahan memulai memanen/memetik padi yang sudah menguning, biasanya dimulai dengan pemilik ladang berdiri di tengah lahan tetapnya didepan panuwuan dengan memetik daun kayu yang masih segar dan mengambil tanah. nantinya tanah diikat menggunakan daun padi didekat panuwuan sembari daun kayu segar diletakan diatas ikatan tersebut. Lalu gabungan dari semuanya diletakan didekat panuwuan yang diikat tadinya. Langkah selanjutnya yang dilakukan pemilik ladang adalah dengan meludahi daun kayu hidup dan tanah yang diikat tersebut sambil menahan nafas dan berkata “kalau rugi tanah ini akan rugi juga hasil panen yang didapatkan kami”. Tujuannya dilakukan menurut kepercayaan masyarakat setempat supaya hasil panen jangan mudah habis dan padi yang dihasilkan bagus sesuai keinginan pemilik ladang. kebiasaan tersebut selalu dilakukan oleh masyarakat setempat setiap tahunnya sampai pada saat ini.

Sedangkan kalau proses memanen/memetik padi (masi) berbeda dengan proses menabur benih padi sepertI masyarakat dayak maanyan memakai jalur berkeliling yang dimulai dari pinggir dan membentuk huruf L. Katanya karena alat tradisional yang digunakan untuk memanen padi (gentu) tajamnya menuju kearah pinggir lahan tidak kearah panuwuan (tengah lahan). Secara logikannya sederhananya dapat dipahami hal tersebut dilakukan supaya titik akhirnya dari proses memetik padi berada tepat di panuwuaan dan tidak ada yang tersisakan/terlewatkan oleh pemilik lahan, sehingga jalur yang ditempuh membentuk huruf L.

Permasalahan
Dari proses awal kita membuka lahan dengan cara dibakar sampai pada puncaknya memanen padi tentunya selalu ada permasalahan yang di hadapi seperti konflik perebutan lahan, perusakan terhadap padi yang dilakukan sengaja oleh beberapa orang, dll. Maka bagaimana proses yang harus dilakukan menurut kepercayaan dan kebiasaan masyarakat dayak maanyan menyikapi permasalahan tersebut ?. Maka sudah secara mutlak harus dilakukan saki pilah atau pembersihan dan pemurnian kembali sehingga hawa panas menjadi dingin kembali atas kelakuaan yang kurang berkenan untuk perkembangan padi oleh oknum tertentu. Saki pilah/pembersihan dilakukan masyarakat setempat dengan menggunakan telur ayam kampung atau darah ayam kampung yang nantinya dioleskan ketempat bermasalah sambil berkata   “ mauah mawatek mudi maurai kala eau kala bahum ulun laku ku ada umeng hambat ma naun bajalan nintu naun kaiuh” artinya secara umum supaya jalan tetap mulus tanpa ada gangguan selama melaksanakan perjalanan. Adapun Tujuan hal tersebut dilakukan secara umumnya supaya padi tetap dapat menghasilkan panen yang bagus karna dia dihargai dan dicintai oleh pemiliknya dan dengan harapan supaya perjalanannya mencapai tujuan jangan ada terhambat dan menyebabkan hal yang tidak baik dimasa yang akan datang.

Ucapan syukur dari pemilik lahan
Di akhirnya setelah selesainya memanen/memetik padi pasti selalu ada ucapan syukur yang dipanjatkan kepada sang pencipta langit dan bumi. Orang dulu (nenek moyang suku Dayak Maanyan) setelah selesai panen mereka selalu mengingat kata “ikutip” dimana membawa orang satu atau dua untuk memanjatkan syukur karna telah selesainya panen dan mendapatkan hasil yang baik untuk menjalankan kehidupan .Terdapat juga hal yang menarik untuk diceritakan yaitu ada kebiasaan yang dilakukan masyarakat setempat, waktu pertama kali mencuci beras hasil panen airnya tidak pernah dibuang secara langsung melainkan mengusapkannya muka karna dipercaya supaya terhindar dari sakit demam ketika mau memanen padi ditahun selanjutnya. Ada juga rumor yang beredar didalam masyarakat air tersebut dapat membuat seseorang awet muda. Dalam hal ini dipertegas nenek jumpet itu tidak benar, kalau ingin awet muda menurut cerita nenek moyang dulu ada ilmunya yang dinamakan Sapu gamar, tetapi sekarang sudah tidak ada masyarakat secara terkhusus masyarakat dayak maanyan yang mempraktekan ilmu seperti itu dimasa sekarang ini.

Perjalanan hidup adalah kenangan yang menyenangkan dapat menginpirasi orang lain bahkan dapat membuat kita tertawa sendiri ketika mengingatkannya kembali. Akhirnya semoga cerita singkat ini dan ungkapan kerinduan dari nenek jumpet dapat menjadi pemahaman baru bagi generasi-generasi muda yang belum sempat merasakan panasnya membakar hutan ditengah terik matahari, dinginnya hujan yang membahasi badan ketika memetik padi dan tetesan keringat yang membasahi seluruh tubuh ketika menjalankan setiap proses dari awal sampai puncaknya seperti ulasan diatas serta yang paling utama hanya kebersamaan ditengah ladang yang panas hanya mampu membuat senyuman pemacu semangat ditengah kesesakan diselimut rasa capek yang membayang-bayangi.

Penulis, Obi Seprianto (Asli Ulun Dayak Maanyan Desa Simpang Naneng)   


Previous Post
Next Post

1 comment:

  1. Numpang promo ya gan
    kami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
    ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*

    ReplyDelete